Yangsering terdengar di telinga kita adalah Taufik Ismail. Beliau dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Beliau menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masi SMA. – Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi kumpulan puisi karya Taufik Ismail lengkap dan terbaik. Taufik Ismail adalah tokoh terkenal yang dikenal sebagai seorang penyair dan sastrawan Indonesia yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Beliau lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 25 Juni 1935. Sepanjang karirnya, beliau sudah memperoleh penghargaan atas karyanya. Banyak penggemar Taufik Ismail dan salah satu karyanya yang terkenal adalah puisi yang berjudul Malu Aku jadi Orang Indonesia. Setiapnya karyanya mempunyai makna yang dalam dan sangat luar biasa. Karyanya memberikan pengaruh besar bagi generasi muda untuk memajukan dan memperjuangkan bangsa. Itulah tadi sedikit tentang Taufik Ismail, beliau menjadi tokoh terkenal dengan sekumpulan puisi karyanya yang dapat memotivasi banyak orang. Bagi kalian yang sedang mencari kumpulan puisi, saya sangat merekomendasikan untuk mencari puisi karya Taufik Ismail sebagai motivasi hidup agar menjalani hidup menjadi lebih semangat. Di artikel ini saya sudah menyiapkan kumpulan puisi karya Taufik Ismail yang bisa Anda gunakan untuk motivasi diri atau bisa juga untuk status di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya agar teman atau orang yang membaca status Anda ikut termotivasi dan memberikan pengaruh baik bagi pembacanya. Baca juga Contoh Pantun Tentang Lingkungan Hidup Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail Lengkap Terbaik Selain di upload di media sosial, puisi karya Taufik Ismail yang terdapat di artikel ini bisa Anda gunakan untuk mengerjakan tugas sekolah atau bisa untuk acara-acara yang membacakan sebuah puisi yang berkesan. Tentunya jangan lupa tidak ada perubahan dalam jika hanya membaca puisi saja, imbangilah dengan aksi, perbuatan, dan jangan lupa direncanakan terlebih dahulu agar berjalan dengan baik. Anda bisa melihat-lihat terlebih dahulu puisi di bawah dan jika Anda tidak ingin susah melakukan salin dan tempel teks untuk keperluan pribadi, Anda bisa mengunduhnya dengan melakukan klik link download yang sudah saya sediakan, berikut linknya Download Puisi Karya Taufik Ismail. Puisi 1 Kembalikan Indonesia PadakuTaufiq Ismail Paris, 1971 Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malamdengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelamkarena seratus juta penduduknya, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malamdengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelamlantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renangsambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelamdan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malamdengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelamkarena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,Kembalikan Indonesia padaku Puisi 2 Mencari Sebuah MesjidTaufiq Ismail Jeddah, 30 Januari 1988 Aku diberitahu tentang sebuah masjidyang tiang-tiangnya pepohonan di hutanfondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awandan kubahnya tembus pandang, berkilauandigosok topan kutub utara dan selatan Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparandihiasi dengan ukiran kaligrafi Qurandengan warna platina dan keemasanberbentuk daun-daunan sangat beraturan serta sarang lebah demikian geometriknyaranting dan tunas jalin berjalinbergaris-garis gambar putaran angin Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranyamenyentuh lapisan ozondan menyeru azan tak habis-habisnyamembuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepasdisulam malaikat menjadi renda-renda benang emasyang memperindah ratusan juta sajadahdi setiap rumah tempatnya singgah Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di manabila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnyaengkau berjalan sampai waktu asartak bisa kau capai saf pertama sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktubershalatlah di mana sajadi lantai masjid ini, yang luas luar biasa Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnyayaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnyadan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnyadi bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlianyang menyimpan cahaya matahari kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturanke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang bergunadi sebuah pustaka yang bukunya berjuta-jutaterletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnyatempat orang-orang bersila bersamadan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbukadan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikandalam simpul persaudaraan yang sejatidalam hangat sajadah yang itu jugaterbentang di sebuah masjid yang mana Tumpas aku dalam rinduMengembara mencarinyaDi manakah dia gerangan letaknya ? Pada suatu hari aku mengikuti matahariketika di puncak tergelincir dia sempatlewat seperempat kuadran turun ke baratdan terdengar merdunya azan di pegunungan dan aku pun melayangkan pandanganmencari masjid itu ke kiri dan ke kananketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungandia berkata Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡ dia menunjuk ke tanah ladang itudan di atas lahan pertanian dia bentangkansecarik tikar pandankemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran airnya bening dan dingin mengalir beraturantanpa kata dia berwudhu duluanaku pun di bawah air itu menampungkan tanganketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan hangat air terasa, bukan dingin kiranyademikianlah air pancuranbercampur dengan air matakuyang bercucuran. Baca juga Kumpulan Kartu Ucapan Hari Kesaktian Pancasila Puisi 3 Seorang Tukang Rambutan Pada IstrinyaTaufik Ismail 1966 Tadi siang ada yang mati,Dan yang mengantar banyak sekaliYa. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolahYang dulu berteriak dua ratus, dua ratus! Sampai bensin juga turun harganyaSampai kita bisa naik bis pasar yang murah pulaMereka kehausan datam panas bukan mainTerbakar muka di atas truk terbuka Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, buBiarlah sepuluh ikat jugaMemang sudah rezeki merekaMereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan Seperti anak-anak kecil“Hidup tukang rambutan!” Hidup tukang rambutaniDan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki sayaDan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami sayaHidup pak rambutan sorak merekaSaya dipanggul dan diarak-arak sebentar“Hidup pak rambutan!” sorak mereka Terima kasih, pak, terima kasih!Bapak setuju karni, bukan?Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicaraDoakan perjuangan kami, pak, Mereka naik truk kembaliMasih meneriakkan terima kasih mereka“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”Saya tersedu, bu. Saya tersedu Belum pernah seumur hidupOrang berterima-kasih begitu jujurnyaPada orang kecil seperti kita. Baca juga Kumpulan Puisi Sajak Cinta Islami Menyentuh Hati Puisi 4 Malu Aku Jadi Orang IndonesiaTaufik Ismail 1998 I Ketika di Pekalongan, SMA kelas tigaKe Wisconsin aku dapat beasiswaSembilan belas lima enam itulah tahunnyaAku gembira jadi anak revolusi Indonesia Negeriku baru enam tahun terhormat diakui duniaTerasa hebat merebut merdeka dari BelandaSahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi IndonesiaDia mengarang tentang pertempuran SurabayaJelas Bung Tomo sebagai tokoh utamaDan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak IndonesiaTom Stone akhirnya masuk West Point AcademyDan mendapat dari Rice UniversityDia sudah pensiun perwira tinggi dari Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiriMengapa sering benar aku merunduk kini II Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serakHukum tak tegak, doyong berderak-derakBerjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan MesopotamiaDi sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamataDan kubenamkan topi baret di kepalaMalu aku jadi orang Indonesia. III Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasiberterang-terang curang susah dicari tandingan,Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakeksecara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasilebih separuh masuk kantung jas safari,Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,agar orangtua mereka bersenang hati,Di negeriku penghitungan suara pemilihan umumsangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dansandiwara yang opininya bersilang tak habisdan tak utus dilarang-larang, Di negeriku dibakar pasar pedagang jelatasupaya berdiri pusat belanja modal raksasa,Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah,kelak perencana dan pembunuh itu di dasar nerakaoleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,kabarnya dengan sepotong SKsuatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkotacuma karena sebagian sangat kecil bangsa kitatak pernah bersedia menerima skor pertandinganyang disetujui bersama, Di negeriku rupanya sudah diputuskankita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecilkarena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,Di negeriku ada pembunuhan, penculikandan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian,ada pula pembantahan terang-teranganyang merupakan dusta terang-terangandi bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagaisaksi terang-terangan,Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilangmenyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. baca juga Dongeng Tentang Hubungan LDR Fachrul dan Tantri Request IV Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serakHukum tak tegak, doyong berderak-derakBerjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan MesopotamiaDi sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamataDan kubenamkan topi baret di kepalaMalu aku jadi orang Indonesia. Puisi 5 Kita Adalah Pemilik Sah Republik IniTaufik Ismail 1966 Tidak ada pilihan lainKita harusBerjalan terusKarena berhenti atau mundur Berarti hancurApakah akan kita jual keyakinan kitaDalam pengabdian tanpa hargaAkan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang laluDalam setiap kalimat yang berakhiranDuli Tuanku ?¡ Tidak ada lagi pilihan lainKita harusBerjalan terusKita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuhKita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsaraDipukul banjir, gunung api, kutuk dan hamaDan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu sloganDan seribu pengeras suara yang hampa suaraTidak ada lagi pilihan lainKita harusBerjalan terus. Puisi 6 Surat Ini Adalah Sebuah Sajak TerbukaTaufik Ismail 1965 Surat ini adalah sebuah sajak terbukaDitulis pada sebuah sore yang biasa. OlehSeorang warganegara biasaDari republik ini Surat ini ditujukan kepadaPenguasa-penguasa negeri ini. Mungkin diaBernama Presiden. Jenderal. dia Ketua MPRS Taruhlah dia anggota DPRAtau pemilik sebuah perusahaan politikbernama partaiMungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa Atau Menteri. Apa sajalah namanyaMalahan mungkin dia saudara sendiri Jika ingin saya tanyakan adalahTentang harga sebuah nyawa di negara kitaBegitu benarkah murahnya? AgaknyaSetiap bayi dilahirkan di Indonesia Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnyaDan menjeritkan tangis-bayinya yang pertamaKetika sang ibu menahankan pedih rahimnyaDi kamar bersalin Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti inginAkan datangnya anggota kemanusiaan baru iniKetika itu tak seorangpun tahu Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudianBayi itu akan ditembak bangsanya sendiriDengan pelor yang dibayar dari hasil bumiSerta pajak kita semua Di jalan depan kampus atau di mana sajaDan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yangMelahirkannya. Jauh dari ayahnyaYang juga mungkin sudah tiada Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnyaDarah telah mengantarkannya ke duniaDarah kasih sayangDarah lalu melepasnya dari duniaDarah kebencian Yang ingin saya tanyakan adalahTentang harga sebuah nyawa di negara kitaBegitu benarkah gampangnya?Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuahNama lebih pentingDisiplin tegang dan keringMungkin pengabdian kepada negara asing Lebih pentingMungkin Surat ini adalah sebuah sajak terbukaMaafkan para studen sastra. Saya telah Menggunakan bahasa terlalu biasaUntuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisiMaalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasaKarena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasaKita tak bisa membiarkannya lebih lama Kemudian kita dipenuhi pertanyaanBenarkah nyawa begitu murah harganya?Untuk suatu penyelesaianBenarkah harga-diri manusia kita Benarkah kemanusiaan kitaBegitu murah untuk umpan sebuah pidatoSebuah ambisiSebuah ideologi Sebuah coretan sejarahBenarkah? Puisi 7 0630Taufik Ismail 1965 Di pusat HarmoniPada papan adpertensiArloji CastellTertulis begini Dunia KiniMembutuhkan Waktu Yang Tepat¡ Di belakangnya langit pagiTembok sungai dan kawat berduriPengawalan berjaga. Di istana Arloji CastellBerkata pada setiap yang lewatDunia KiniMembutuhkan Waktu Yang Tepat¡. Puisi 8 BentengTaufik Ismail 1966 Sesudah siang panas yang meletihkanSehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balasDan kita kembali ke karnpus ini berlindungBersandar dan berbaring, ada yang merenung Di lantai bungkus nasi bertebaranDari para dermawan tidak dikenalKulit duku dan pecahan kulit rambutanLewatlah di samping Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-manaSemuanya kumal, semuanya tak bicaraTapi kita tldak akan terpatahkanOleh seribu senjata dari seribu tiran Tak sempat lagi kita pikirkanKeperluan-keperluan kecil seharianStudi, kamar-tumpangan dan percintaanKita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malamKita mesti siap saban waktu, siap saban jam. Puisi 9 Pengkhianatan Itu Terjadi Pada TanggalTaufik Ismail 1966 Pengkhianatan itu telah terjadiPengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 MaretAda manager-manager politikAda despot yang lalim Ada ruang sidang dalam istanaAda hulubalangSerta senjata-senjata Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la ladi sana tak ada kepalatapi hu hu hutak ada kepala di atas bahu Adalah tempolong ludahSipoa kantor dagangKeranjang sampahMelayang layang Ada pernyataan otomatikAda penjara dan maut imajinerGenerasi yang kocakUsahawan-usahawan politik yang kocak¡­ Ruang sidang dalam istanaLa la latempolong ludah tak berkepalaHu hu hu keranjang sampah di atas bahuAngin menerbangkan kertas-kertas statemen TerbangMelayang layang. Puisi 10 Malam SabtuTaufik Ismail 1966 Berjagalah terusSegala kemungkinan bisa terjadiMalam ini Maukah kita dikutuk anak-cucuMenjelang akhir abad iniKarena kita kini berserah diri?Tidak. Tidak bisa Tujuh korban telah jatuh. DibunuhAda pula mayat adik-adik kita yang dicuriDipaksa untuk tidak dimakamkan semestinyaApakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa sabar mengurut dada?Tidak. Tidak bisa Dengarkan. Dengarkanlah di luar ituSuara doa berjuta-jutaRakyat yang resah dan menantiMereka telah menanti lama sekaliMenderita dalam nyeriMereka sedang berdoa malam iniDengar. Dengarlah hati-hati. Puisi 11 Rendez – C VousTaufik Ismail 1966 Sejarah telah singgahKe kemah kamiIa menegur sangat ramahDan mengajak kami pergi Saya sudah mengetuk-ngetukPintu yang lain,¡KatanyaTapi amat heranMereka berkali-kali menolakkuDi ambang pintu.¡ Klni kami beratus-ribuMengiringkan langkah SejarahDalam langkah yang seruDan semakin cepatSemakin dahsyatMenderu-deruDalam angin berputarBadai peluruTopan bukit batu! Puisi 12 Bendera LaskarTaufik Ismail 1966 Kali pertama, di halaman kampus, pagi ituTelah berkibar bendera laskarBerkibar putih bagai megaDengan garis-garis yang merahKarena telah dibayar dengan darah Dia telah mendengar teriakan kitaSepanjang jalan-jalan rayaDi atas truk tanpa tendaDi atas jip, di depan pawai-pawai semuaDia selalu mendahului kita Dalam setiap gerakanKepadanya berbagi nestapa kitaDuka setengah tiangDuka sejarah rnanusiaYang telah lama dihinakanDan dimelaratkan Di depan markas, berkibar bendera laskarKami semua melambaimuHai kawan dan lambang kami yang setiaLambailah sejarah dari atas sanaBuat kami satu laskarBuat generasi yang kukuh dan kekar. Puisi 13 Dengan Puisi, AkuTaufik Ismail 1966 Dengan puisi aku bernyanyiSampai senja umurku nantiDengan puisi aku bercintaBerbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenangKeabadian Yang Akan DatangDengan puisi aku menangisJarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutukNafas zaman yang busukDengan puisi aku berdoaPerkenankanlah kiranya Puisi 14 La Strada, Atau Jalan Terpanggang IniTaufik Ismail 1966 Kini anak-anak itu telah berpawai pulaDipanggang panas matahari ibukotaSetiap lewat depan kampus berpagar senjataMereka berteriak dengan suara tinggiHidup kakak-kakak kami!¡ Mereka telah direlakan ibu bapaWarganegara biasa negeri iniYang melepas dengan doaSetiap pagi Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelahKini telah melangkahkan sejarah. Puisi 15 SilhuetTaufik Ismail 1965 Gerimis telah menangisDi atas bumi yang lelahAngin jalanan yang panjangTak ada rumah. KIta tak berumahKita hanya bayang-bayang Gerimis telah menangisDi atas bumi yang letihDi atas jasad yang pedihKita lapar. Kita amat laparBayang-bayang yang lapar Gerimis telah menangisDi atas bumi yang sepiSehabis pawai genderangAngin jalanan yang panjangMenyusup-nyusupMenusuk-nusukBayang-bayang berjutaBerjuta bayang-bayang Di bawah bayangan pilarDi bawah bayangan emasBerjuta bayang-bayangMenangisi gerimis Menangisi gunung apiKabut yang unguMembelai perlahanHutan-hutanDi selatan. Puisi 16 Bukit Biru, Bukit KeluTaufik Ismail 1965 Adalah hujan dalam kabut yang unguTurun sepanjang gunung dan bukit biruKetika kota cahay dan di mana bertemuAwan putih yang menghinggapi cemaraku Adalah kemarau dalam sengangar berdebuTurun sepanjang gunung dan bukit keluKetika kota tak bicara dan terpakuGunung api dan hama di ladang-ladangku Lereng-lereng senjaPernah menyinar merah kesumbaPadang hilalang dan bukit membatuTanah airku Puisi 17 PersetujuanTaufik Ismail 1966 Momentum telah dicapai. KitaDalam estafet amat panjangMenyebar benih ini di bumiTelah sama berteguh hati Adikku Kappi, engkau sangat mudaMari kita berpacu dengan sejarahDan kini engkau di muka Puisi 18 Bagaimana KalauTaufik Ismail 1966 Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,tapi buah alpukat,Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat,Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,dan ibukota Indonesia Monaco,Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari,Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikindan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra,Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga dikamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suarapercintaan anak muda, juga bunyi industri presisi danmargasatwa Afrika,Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecilmempertimbangkan protes itu, Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kitapelihara ternak sebagai penggantiBagaimana kalau sampai waktunyakita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. Puisi 19 Dari Catatan Seorang DemonstranTaufik Ismail Yayasan Ananda, Jakarta, 1993 Inilah peperanganTanpa jenderal, tanpa senapanPada hari-hari yang mendungBahkan tanpa harapan Di sinilah keberanian diujiKebenaran dicoba dihancurknPada hari-hari berkabungDi depan menghadang ribuan lawan Puisi 20 Refleksi Seorang Pejuang TuaTaufik Ismail 1966 Tentara rakyat telah melucuti KebatilanSetelah mereka menyimak deru sejarahDalam regu perkasa mulallah melangkahKarena perjuangan pada hari-hari ini Adalah perjuangan dari kalbu yang murniBelum pernah kesatuan terasa begini eratnyaKecuali dua puluh tahun yang lalu Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnyaPelajar muda berlarian ke jalan-jalan rayaMereka kembali menyeru-nyeru Nama kau, KemerdekaanSeperti dua puluh tahun yang lalu Spiral sejarah telah mengantarkan kitaPada titik iniTak ada seorang pun tiran Sanggup di tengah jalan mengangkat tanganDanberseru Berhenti! Tidak ada. Dan kalau pun adaTidak bisa Karena perjuangan pada hari-hari iniAdalah perjuangan dimulai dari sunyiBelum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu. Puisi 21 Oda Bagi Seorang Sopir TrukTaufik Ismail 1966 Sebuah truk lamaDengan supir bersahajaTelah beruban dan agak bungkukDi atas stimya tertidurDi tepi jalan yang sepiDi suatu senja musim ini Dalam tidumya ia bermimpiJalanan telah rata. DitempuhnyaDengan sebuah truk baruDengan klakson yang bisa berlagu Dan di sepanjang jalananBeribu anak-anak demonstranTersenyum padanya, mengelu-elukanHiduplah bapak supir yang tuaYang dulu berjuang bersama kamiSelama demonstrasi Di tepi sebuah jalan di ibukotaKetika udara panas, di suatu senjaSeorang supir lusuh dengan truk yang tuaDuduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk. Puisi 22 Takut 66, Takut 98Taufik Ismail 1998 Mahasiswa takut pada dosenDosen takut pada dekanDekan takut pada rektorRektor takut pada menteriMenteri takut pada presidenPresiden takut pada mahasiswatakut “66, takut “98 Puisi 23 Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa PengemisTaufik Ismail 1998 Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diriGara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankanKalian bersengaja menjerumuskan kami-kamiSejak lahir sampai dewasa ini Jadi sangat tepergantung pada budayaMeminjam uang ke mancanegaraSudah satu keturunan jangka waktunyaHutang selalu dibayar dengan hutang baru pula Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuniLubang itu, alamak, kok makin besar jadiKalian paksa-tekankan budaya berhutang iniSehingga apa bedanya dengan mengemis lagi Karena rendah diri pada bangsa-bangsa duniaKita gadaikan sikap bersahaja kitaKarena malu dianggap bangsa miskin tak berhartaKita pinjam uang mereka membeli benda mereka Harta kita mahal tak terkira, harga diri kitaDigantung di etalase kantor Pegadaian DuniaMenekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersamaKepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomiDan ramai-ramailah mereka pesta kenduriSambil kepala kita dimakan beginiKita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti Dalam upacara masuk masa penjajahan lagiPenjajahnya banyak gerakannya penuh harmoniMereka mengerkah kepala kita bersama-samaMenggigit dan mengunyah teratur berirama Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagiDicengkeram kuku negara multi-kolonialis iniBagai ikan kekurangan air dan zat asamBeratus juta kita menggelepar menggelinjang Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutangKita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budayaMeminjam kepeng ke mancanegaraDari membuat peniti dua senti Sampai membangun kilang gas bumiDibenarkan serangkai teori penuh sofistikasiKalian memberi contoh hidup boros berasas gengsiDan fanatisme mengimpor barang luar negeri Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistisKalian cetak kami jadi Bangsa PengemisKetika menadahkan tangan serasa menjual jiwaTertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percayaPada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alamiKalian lah yang membuat kami jadi beginiSepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepiLalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini Puisi 24 Ketika Burung Merpati Sore MelayangTaufik Ismail Langit akhlak telah roboh di atas negeriKarena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiriKarena hukum tak tegak, semua jadi beginiNegeriku sesak adegan tipu-menipu Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur akuBergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak akuBergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung akuBergerak ke depan, dengan penipu ketanggor akuBergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhanGempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparanKemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulanJutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulanBumiku demam berat, menggigilkan air lautan Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkanPenyakit kelamin meruyak tak tersembuhkanPenyakit nyamuk membunuh bagai ejekanBerjuta belalang menyerang lahan pertanianBumiku demam berat, menggigilkan air lautan Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran apiEmpat syuhada melesat ke langit dari bumi TrisaktiGemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeriBeribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah apiMereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagiBumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Kukenangkan tahun 1947 lama aku jalan di Ambarawa dan SalatigaBalik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di BukittinggiKuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeriSeluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei 1998 jauh beda, jauh kalah ngeriAku termangu mengenang iniBumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Ada burung merpati sore melayangAdakah desingnya kau dengar sekarangKe daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikanKe ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan Di aorta jantungku, musibah bersimbah darahDi cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafaskuTapi apakah sah sudah, ini murkaMu? Ada burung merpati sore melayangAdakah desingnya kau dengar sekarang Puisi 25 Yang Selalu Terapung Di Atas GelombangTaufik Ismail 1998 Seseorang dianggap tak bersalah,sampai dia dibuktikan hukum negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu simaklah sebuah kisah, Seorang pegawai tinggi,gajinya sebulan satu setengah juta rupiah,Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam,BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan bertebaran di Menteng, Kebayoran danMacam Macam Indah,Setiap semester ganjil, isteri terangnya belanja di Hongkong dan semester genap,isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika, Anak-anaknya pegang dua pabrik,tiga apotik dan empat biro sepupu dan kemenakannyapunya lima toko onderdil, enam biro iklan dan tujuh pusat belanja,Ketika rupiah anjlok terperosok,kepleset macet dan hancur jadi bubur,dia ketawa terbahak- bahak karena depositonya dalam dolar Amerika matahari dua kali tenggelam di langit barat,jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat, Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,maka seratus kantong plastik hitam dia masing-masing lima genggam beras,empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi,dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali, Gelombang mau datang, datanglah gelombang,setiap air bah pasang dia senantiasaterapung di atas banjir orang tenggelam tak mampu timbul lagi, lalu dia berkata begini,Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,¡ Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlahkekayaan misterius mau diperiksa,kekayaan tidak jadi diperiksa,kekayaan mau diperiksa, kekayaan tidak diperiksa,kekayaan harus diperiksa,kekayaan tidak jadi jam tua Westminster, tahun empat puluh satu diproduksi,capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri, Kemudian ide baru datang lagi,isi formulir harta benda sendiri,harus terus terang tapi,dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi,Selepas itu suasana hening sepi lagi,cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali,Seseorang dianggap tak bersalah,sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu membuktikan bersalah,kalau kulit tak dapat tak bisa dari jauh,memegang tak dapat dari dekat, Karena ilmu kiat,orde datang dan orde berangkat,dia akan tetap saja selamat,Kini lihat,di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, seraya menghirup teh nasgiteldia duduk menerima telepondari isterinya yang sedang tur di Venezia,sesudah menilai tiga proposal,dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja, Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way,senandung lama Frank Sinatrayang kemarin baru meninggal dunia,ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung di atas sanadan tak habis-habisnyadi layar kaca jinggel bola Piala Dunia, Go, go, go, ale ale ale¡ Puisi 26 Syair Empat Kartu Di TanganTaufik Ismail 1988 Ini bicara blak-blakan saja, bangBuka kartu tampak tampangSehingga semua jelas membayang Monoloyalitas kamisebenarnya pada uangSudahlah, ka-bukaan saja kita bicaraKoyak tampak terkubak semua Sehingga buat apa basi dan basaSila kamiKeuangan Yang Maha EsaJangan sungkan buat apa yah-payah Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiahTak usahlah sah-susahIdeologiku begitu jelasideologi rupiah Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahanSetiap jeroan berjajar kelihatanSehingga jelas sebagai keseluruhanAsas tunggalkumemang keserakahan. Puisi 27 Bayi Lahir Bulan Mei 1998Taufik Ismail 1988 Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetanggaSuaranya keras, menangis berhiba-hibaBegitu lahir ditating tangan bidannyaBelum kering darah dan air ketubannyaLangsung dia memikul hutang di bahunyaRupiah sepuluh juta Kalau dia jadi petani di desaDia akan mensubsidi harga beras orang kotaKalau dia jadi orang kotaDia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya Kalau dia bayar pajakPajak itu mungkin jadi peluru runcingKe pangkal aortanya dibidikkan mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran jugaMulutmu belum selesai bicaraKau pasti dikencinginya. Puisi 28 Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan CucumuTaufik Ismail 1998 Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei ituBersama beberapa ribu kawanmuMarah, serak berteriak dan mengepalkan tinjuBersama-sama membuka sejarah halaman satu Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baruSeraya mencat spanduk dengan teks yang seruTerpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluruDikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu Dihajar dusta dan fakta dalam berita selaluSampai kini sejak kau lahir dahuluInilah pengakuan generasi kami, katamuHasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diakuDaun-daun hijau dan langit biru, katamuDaun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang ituKekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang ituKarena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata daduYang diguncang-guncang genggaman orang-orang ituDan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamuBerjalan kaki, berdiri di atap bis yang melajuKemeja basah keringat, ujian semester lupakan duluMemasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satuTanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil ituSudahlah, ayo kita bergerak saja duluKita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. Puisi 29 DoaTaufik Ismail 1966 Tuhan kamiTelah nista kami dalam dosa bersamaBertahun membangun kultus iniDalam pikiran yang gandaDan menutupi hati nurani Ampunilah kamiAmpunilahAmin Tuhan kamiTelah terlalu mudah kamiMenggunakan asmaMuBertahun di negeri iniSemogaKau rela menerima kembaliKami dalam barisanMu Ampunilah kamiAmpunilahAmin. Puisi 30 Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh DatangTaufik Ismail Sebuah orde tenggelamsebuah orde timbultapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamatMereka tidak mengalami guncangan yang berat Yang selalu terapung di atas gelombangSeseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalahDi negeri kami ungkapan ini begitu indahKini simaklah sebuah kisah Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiahDi garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,Honda metalik, dan Mercedes merahAnaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indahSetiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan SingapuraSetiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika Anak-anaknya ¡­. Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasaSelain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil,lima biro iklan, dan empat pusat belanja. Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur,dia, hah!dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semuaSesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipatKrisis makin menjadi-jadiDi mana-mana orang antriMaka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi Isinya masing-masingLima genggam beras, empat cangkir minyak goreng,dan tiga bungkus mie cepat jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisidan masuk koran halaman lima pagi sekaliGelombang mau datang,Datang lagi gelombang setiap bah air pasang Dia senantiasa terapung di atas banjir bandangBanyak orang tenggelam toh mampu timbul lagilalu ia berkata sambil berdiri Yaaa¡­ masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiriSeperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksaKekayaan¡­ tidak jadi diperiksaKakayaan¡­ mau diperiksaKekayaan¡­ tidak jadi diperiksaKekayaan¡­ mau diperiksaKekayaan¡­ tidak jadi diperiksaKekayaan¡­ harus diperiksaKekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Puisi 31 Sembilan Burung Camar Tuan YusufTaufik Ismail Cape Town, 26 April 1993. Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertamaTuan Yusuf,dan memandang bekas tumpak bumiyang pernah menating jenazahnya. Kemudian lihat saya keluar bangunan itu,pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar,tiada bernama tapi berukir Asmaul situ empat orang terbujur mungkin ulama, mungkin komandan pasukanTuan Yusuf,mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten. Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitammenunjuk cakrawala langit kini saya surut tiga abad mengingat-ingatjalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan. Dengar angin bertiup di Faure waktu itumungkin dari dua samudera yang bersalam-salamandi tanjung paling ujungmungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan. Lihat dedaunan musim rontok pada dedahananmengitari teluk bermerahanyang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti. Dapatkah kita membayangkanTuan Yusufseorang sufi yang cendekiazikir membalut tubuhnya karangan mengalir melalui kalam terbuat dari sembilu bambudengan dawat berwarna merah dan hitam jadi bukudalam tiga bahasa Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberanitersusun dalam petiberlayar lebih kilometer lewat dua samuderasuara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar di pesisir Celebes buang jangkarlalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormatke dalam bumi Lakiung dekat tempatibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya. Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmuya Syekhkarena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad initidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah dalam potret cat akrilik lima warnanamun kubayangkan sajalah kira-kirawajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam, bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsingberbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu. Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada sebenarnya di lubuk hati Gubernurdan manajer-manajer maskapai dagang VOCyang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu mereka kagum pada mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon,lalu kilometer ke benua inikarena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besibegitu kubaca catatan mereka. Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh? Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega,lepas meluncur cepat dari Gunung Mejayang memandang dua samudera. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkatakau merdeka hari ini karena tiga abad laluSyekh Yusuftelah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu. Aku mendengar zikir mengalirlewat sembilan burung camaryang sayapnya seperti berombak menyanyi. Puisi 32 Adakah Suara CemaraTaufik Ismail 1973 buat AtiAdakah suara cemaraMendesing menderu padamuAdakah melintas sepintasGemersik dedaunan lepas Deretan bukit-bukit biruMenyeru lagu ituGugusan megaIalah hiasan kencana Adakah suara cemaraMendesing menderu padamuAdakah lautan ladang jagungMengombakkan suara itu Puisi 33 Kopi Menyiram HutanTaufik Ismail 1988 Tiga juta hektarHalaman surat kabarTelah dirayapi apiTerbit pagi ini Panjang empat jariDua kolom tegaklurusDibongkar dari pik-apSubuh dari percetakan Ditumpuk atas jalanDibereskan agen koranSebelum matahari dimunculkanDilempar ke pekarangan Dipungut oleh pelayanDitaruh di meja makanDitengok secara sambilanDasi tengah diluruskan Rambut isteri penataanEmpat anak bersliweranPagi penuh kesibukanSelai di tangan Roti dalam pangganganKetika tangan bersilanganKopi tumpah di bacaanMenyiram tiga juta hektar koran Dua kolom kepanjanganApi padam menutup hutanKoran basah dilipat empatKeranjang plastik anyaman Tempat dia dibuangkanTepat pagi ituJam setengah delapan. Itulah tadi 30+ kumpulan puisi karya Taufik Ismail lengkap dan terbaik yang bisa Anda jadikan motivasi diri dan untuk melengkapi tugas sekolah. Selain itu kumpulan puisi di atas dapat Anda gunakan untuk status media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, Whatsapp atau media sosial lainnya. Mungkin itu dulu artikel kali ini, jika Anda mempunyai pertanyaan, saran, atau masukkan, silahkan tulis di kolom komentar ya. Semoga bermanfaat.
Kritikyang dibahas di sini adalah kritik terhadap sebuah karya sastra. Karya sastranya, yaitu puisi MAJOI karya Taufik Ismail. Berdasarkan kutipan di atas isi kutipan di atas, yaitu kritik terhadap penggunaan kata dalam puisi MAJOI. Pilihan yang tepat adalah pilihan B. Pilihan A, C, D dan E merupakan sebuah pendapat.
Daftar Isi Sembunyikan NB Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi Kembalikan Indonesia Padaku Mencari Sebuah Mesjid Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya Malu Aku Jadi Orang Indonesia Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka 0630 Benteng Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal Malam Sabtu Rendez - C Vous Bendera Laskar Dengan Puisi, Aku La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini Silhuet Bukit Biru, Bukit Kelu Persetujuan Bagaimana Kalau Dari Catatan Seorang Demonstran Refleksi Seorang Pejuang Tua Oda Bagi Seorang Sopir Truk Takut 66, Takut 98 Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis Ketika Burung Merpati Sore Melayang Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang Syair Empat Kartu Di Tangan Bayi Lahir Bulan Mei 1998 Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu Doa Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf Adakah Suara Cemara Kopi Menyiram Hutan Puisi Taufik Ismail - Taufiq Ismail adalah seorang penyair dan sastrawan asal Indonesia bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935, sekarang berumur 83 tahun. Beliau sudah banyak mendapat penghargaan dari karya sastranya, salah satu karya Taufiq Ismail yang paling terkenal adalah puisi berjudul Malu Aku jadi Orang Indonesia. Karya - karya beliau sangat luar biasa, setiap baitnya mempunyai makna yang dalam dan banyak karyanya yang memberikan motivasi bagi generasi muda untuk selalu memperjuangkan kehidupan berbangsa untuk memajukan bangsa ini menjadi lebih baik. Nah, bagi kalian yang sedang mencari karya puisi beliau. Saya sudah menyiapkan puisi karya Taufiq Ismail secara lengkap. Berikut adalah 33 puisi karya beliau yang terkenal. Baca Juga 150 Kumpulan Puisi Cinta Romantis, Sedih, Rindu, Galau Terbaik 41 Kumpulan Puisi Karya Rendra yang Melegenda 33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Melegenda 43 Kumpulan Puisi Karya Emha Ainun Najib Cak Nun 31 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Sumber Google Images Puisi 1 Kembalikan Indonesia Padaku Taufiq Ismail Paris, 1971 Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Kembalikan Indonesia padaku Puisi 2 Mencari Sebuah Mesjid Taufiq Ismail Jeddah, 30 Januari 1988 Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan fondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran dengan warna platina dan keemasan berbentuk daun-daunan sangat beraturan serta sarang lebah demikian geometriknya ranting dan tunas jalin berjalin bergaris-garis gambar putaran angin Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya dan menyeru azan tak habis-habisnya membuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepas disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas yang memperindah ratusan juta sajadah di setiap rumah tempatnya singgah Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya engkau berjalan sampai waktu asar tak bisa kau capai saf pertama sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu bershalatlah di mana saja di lantai masjid ini, yang luas luar biasa Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya tempat orang-orang bersila bersama dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan dalam simpul persaudaraan yang sejati dalam hangat sajadah yang itu juga terbentang di sebuah masjid yang mana Di manakah dia gerangan letaknya ? Pada suatu hari aku mengikuti matahari ketika di puncak tergelincir dia sempat lewat seperempat kuadran turun ke barat dan terdengar merdunya azan di pegunungan dan aku pun melayangkan pandangan mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡ dia menunjuk ke tanah ladang itu dan di atas lahan pertanian dia bentangkan kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran airnya bening dan dingin mengalir beraturan tanpa kata dia berwudhu duluan aku pun di bawah air itu menampungkan tangan ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan hangat air terasa, bukan dingin kiranya bercampur dengan air mataku Puisi 3 Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah Yang dulu berteriak dua ratus, dua ratus! Sampai bensin juga turun harganya Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula Mereka kehausan datam panas bukan main Terbakar muka di atas truk terbuka Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu Biarlah sepuluh ikat juga Memang sudah rezeki mereka Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan “Hidup tukang rambutan!” Hidup tukang rambutani Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saya Hidup pak rambutan sorak mereka Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar “Hidup pak rambutan!” sorak mereka Terima kasih, pak, terima kasih! Bapak setuju karni, bukan? Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara Doakan perjuangan kami, pak, Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!” Saya tersedu, bu. Saya tersedu Belum pernah seumur hidup Orang berterima-kasih begitu jujurnya Pada orang kecil seperti kita. Puisi 4 Malu Aku Jadi Orang Indonesia Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi Indonesia Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat dari Rice University Dia sudah pensiun perwira tinggi dari Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia. Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan, Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari, Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati, Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak utus dilarang-larang, Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian, ada pula pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia. Puisi 5 Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini Karena berhenti atau mundur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran Tidak ada lagi pilihan lain Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain Puisi 6 Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka Surat ini adalah sebuah sajak terbuka Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh Seorang warganegara biasa Surat ini ditujukan kepada Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur. Barangkali dia Ketua MPRS Atau pemilik sebuah perusahaan politik Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa Atau Menteri. Apa sajalah namanya Malahan mungkin dia saudara sendiri Jika ingin saya tanyakan adalah Tentang harga sebuah nyawa di negara kita Begitu benarkah murahnya? Agaknya Setiap bayi dilahirkan di Indonesia Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini Ketika itu tak seorangpun tahu Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi Di jalan depan kampus atau di mana saja Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang Melahirkannya. Jauh dari ayahnya Yang juga mungkin sudah tiada Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya Darah telah mengantarkannya ke dunia Darah lalu melepasnya dari dunia Yang ingin saya tanyakan adalah Tentang harga sebuah nyawa di negara kita Begitu benarkah gampangnya? Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah Disiplin tegang dan kering Mungkin pengabdian kepada negara asing Surat ini adalah sebuah sajak terbuka Maafkan para studen sastra. Saya telah Menggunakan bahasa terlalu biasa Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa Kita tak bisa membiarkannya lebih lama Kemudian kita dipenuhi pertanyaan Benarkah nyawa begitu murah harganya? Benarkah harga-diri manusia kita Benarkah kemanusiaan kita Begitu murah untuk umpan sebuah pidato Tertulis begini Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡ Di belakangnya langit pagi Tembok sungai dan kawat berduri Pengawalan berjaga. Di istana Berkata pada setiap yang lewat Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡. Sesudah siang panas yang meletihkan Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung Bersandar dan berbaring, ada yang merenung Di lantai bungkus nasi bertebaran Dari para dermawan tidak dikenal Kulit duku dan pecahan kulit rambutan Lewatlah di samping Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana Semuanya kumal, semuanya tak bicara Tapi kita tldak akan terpatahkan Oleh seribu senjata dari seribu tiran Tak sempat lagi kita pikirkan Keperluan-keperluan kecil seharian Studi, kamar-tumpangan dan percintaan Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam. Puisi 9 Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal Pengkhianatan itu telah terjadi Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret Ada manager-manager politik Ada ruang sidang dalam istana Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la tak ada kepala di atas bahu Ada penjara dan maut imajiner Usahawan-usahawan politik yang kocak¡­ Ruang sidang dalam istana tempolong ludah tak berkepala keranjang sampah di atas bahu Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang Segala kemungkinan bisa terjadi Maukah kita dikutuk anak-cucu Karena kita kini berserah diri? Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa sabar mengurut dada? Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu Rakyat yang resah dan menanti Mereka telah menanti lama sekali Mereka sedang berdoa malam ini Dengar. Dengarlah hati-hati. Puisi 11 Rendez - C Vous Saya sudah mengetuk-ngetuk Mereka berkali-kali menolakku Mengiringkan langkah Sejarah Puisi 12 Bendera Laskar Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu Telah berkibar bendera laskar Berkibar putih bagai mega Dengan garis-garis yang merah Karena telah dibayar dengan darah Dia telah mendengar teriakan kita Sepanjang jalan-jalan raya Di atas jip, di depan pawai-pawai semua Dia selalu mendahului kita Kepadanya berbagi nestapa kita Yang telah lama dihinakan Di depan markas, berkibar bendera laskar Hai kawan dan lambang kami yang setia Lambailah sejarah dari atas sana Buat generasi yang kukuh dan kekar. Puisi 13 Dengan Puisi, Aku Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Dengan puisi aku mengenang Keabadian Yang Akan Datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Puisi 14 La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini Kini anak-anak itu telah berpawai pula Dipanggang panas matahari ibukota Setiap lewat depan kampus berpagar senjata Mereka berteriak dengan suara tinggi Mereka telah direlakan ibu bapa Warganegara biasa negeri ini Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah Kini telah melangkahkan sejarah. Angin jalanan yang panjang Tak ada rumah. KIta tak berumah Kita lapar. Kita amat lapar Angin jalanan yang panjang Puisi 16 Bukit Biru, Bukit Kelu Adalah hujan dalam kabut yang ungu Turun sepanjang gunung dan bukit biru Ketika kota cahay dan di mana bertemu Awan putih yang menghinggapi cemaraku Adalah kemarau dalam sengangar berdebu Turun sepanjang gunung dan bukit kelu Ketika kota tak bicara dan terpaku Gunung api dan hama di ladang-ladangku Pernah menyinar merah kesumba Padang hilalang dan bukit membatu Momentum telah dicapai. Kita Dalam estafet amat panjang Menyebar benih ini di bumi Adikku Kappi, engkau sangat muda Mari kita berpacu dengan sejarah Puisi 18 Bagaimana Kalau Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat, Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco, Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari, Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop, Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra, Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu, Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. Puisi 19 Dari Catatan Seorang Demonstran Taufik Ismail Yayasan Ananda, Jakarta, 1993 Tanpa jenderal, tanpa senapan Pada hari-hari yang mendung Di sinilah keberanian diuji Kebenaran dicoba dihancurkn Di depan menghadang ribuan lawan Puisi 20 Refleksi Seorang Pejuang Tua Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan Setelah mereka menyimak deru sejarah Dalam regu perkasa mulallah melangkah Karena perjuangan pada hari-hari ini Adalah perjuangan dari kalbu yang murni Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali dua puluh tahun yang lalu Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya Mereka kembali menyeru-nyeru Seperti dua puluh tahun yang lalu Spiral sejarah telah mengantarkan kita Tak ada seorang pun tiran Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan Tidak ada. Dan kalau pun ada Karena perjuangan pada hari-hari ini Adalah perjuangan dimulai dari sunyi Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu. Puisi 21 Oda Bagi Seorang Sopir Truk Telah beruban dan agak bungkuk Dalam tidumya ia bermimpi Jalanan telah rata. Ditempuhnya Dengan klakson yang bisa berlagu Beribu anak-anak demonstran Tersenyum padanya, mengelu-elukan Hiduplah bapak supir yang tua Yang dulu berjuang bersama kami Di tepi sebuah jalan di ibukota Ketika udara panas, di suatu senja Seorang supir lusuh dengan truk yang tua Duduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk. Puisi 22 Takut 66, Takut 98 Mahasiswa takut pada dosen Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa Puisi 23 Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami Sejak lahir sampai dewasa ini Jadi sangat tepergantung pada budaya Meminjam uang ke mancanegara Sudah satu keturunan jangka waktunya Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia Kita gadaikan sikap bersahaja kita Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri Sambil kepala kita dimakan begini Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama Menggigit dan mengunyah teratur berirama Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini Bagai ikan kekurangan air dan zat asam Beratus juta kita menggelepar menggelinjang Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya Meminjam kepeng ke mancanegara Dari membuat peniti dua senti Sampai membangun kilang gas bumi Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami Kalian lah yang membuat kami jadi begini Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini Puisi 24 Ketika Burung Merpati Sore Melayang Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini Negeriku sesak adegan tipu-menipu Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Kukenangkan tahun 1947 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri Seluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei 1998 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu? Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Puisi 25 Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Kini simaklah sebuah kisah, gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika, Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa. Saudara sepupu dan kemenakannya punya lima toko onderdil, enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, Ketika rupiah anjlok terperosok, kepleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak- bahak karena depositonya dalam dolar Amerika semua. Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat, Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. Isinya masing-masing lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi, dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali, Gelombang mau datang, datanglah gelombang, setiap air bah pasang dia senantiasa terapung di atas banjir bandang. Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,¡ Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah kekayaan misterius mau diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa, kekayaan tidak diperiksa, kekayaan harus diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa. Bandul jam tua Westminster, tahun empat puluh satu diproduksi, capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri, Kemudian ide baru datang lagi, isi formulir harta benda sendiri, dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi, Selepas itu suasana hening sepi lagi, cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Bagaimana membuktikan bersalah, kalau kulit tak dapat dijamah. Menyentuh tak bisa dari jauh, memegang tak dapat dari dekat, orde datang dan orde berangkat, dia akan tetap saja selamat, di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, seraya menghirup teh nasgitel dia duduk menerima telepon dari isterinya yang sedang tur di Venezia, sesudah menilai tiga proposal, dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja, Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way, senandung lama Frank Sinatra yang kemarin baru meninggal dunia, ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung di atas sana di layar kaca jinggel bola Piala Dunia, Puisi 26 Syair Empat Kartu Di Tangan Ini bicara blak-blakan saja, bang Buka kartu tampak tampang Sehingga semua jelas membayang Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara Koyak tampak terkubak semua Sehingga buat apa basi dan basa Jangan sungkan buat apa yah-payah Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan Setiap jeroan berjajar kelihatan Sehingga jelas sebagai keseluruhan Puisi 27 Bayi Lahir Bulan Mei 1998 Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga Suaranya keras, menangis berhiba-hiba Begitu lahir ditating tangan bidannya Belum kering darah dan air ketubannya Langsung dia memikul hutang di bahunya Kalau dia jadi petani di desa Dia akan mensubsidi harga beras orang kota Kalau dia jadi orang kota Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya Pajak itu mungkin jadi peluru runcing Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga Mulutmu belum selesai bicara Puisi 28 Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu Bersama beberapa ribu kawanmu Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju Bersama-sama membuka sejarah halaman satu Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu Sampai kini sejak kau lahir dahulu Inilah pengakuan generasi kami, katamu Hasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diaku Daun-daun hijau dan langit biru, katamu Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamu Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. Telah nista kami dalam dosa bersama Bertahun membangun kultus ini Kau rela menerima kembali Puisi 30 Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamat Mereka tidak mengalami guncangan yang berat Yang selalu terapung di atas gelombang Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah Di negeri kami ungkapan ini begitu indah Kini simaklah sebuah kisah Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil, lima biro iklan, dan empat pusat belanja. Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat Krisis makin menjadi-jadi Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng, dan tiga bungkus mie cepat jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi dan masuk koran halaman lima pagi sekali Datang lagi gelombang setiap bah air pasang Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi lalu ia berkata sambil berdiri Yaaa¡­ masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Kekayaan¡­ harus diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Puisi 31 Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf Taufik Ismail Cape Town, 26 April 1993. Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama dan memandang bekas tumpak bumi yang pernah menating jenazahnya. Kemudian lihat saya keluar bangunan itu, pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar, tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna. Di situ empat orang terbujur mungkin ulama, mungkin komandan pasukan mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten. Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam menunjuk cakrawala langit Afrika. Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan. Dengar angin bertiup di Faure waktu itu mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan. Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan mengitari teluk bermerahan yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti. Dapatkah kita membayangkan seorang sufi yang cendekia zikir membalut tubuhnya karangan mengalir melalui kalam terbuat dari sembilu bambu dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani berlayar lebih kilometer lewat dua samudera suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar di pesisir Celebes buang jangkar lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat ke dalam bumi Lakiung dekat tempat ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya. Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah dalam potret cat akrilik lima warna namun kubayangkan sajalah kira-kira wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam, bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu. Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan. Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur dan manajer-manajer maskapai dagang VOC yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon, lalu kilometer ke benua ini karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi begitu kubaca catatan mereka. Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh? Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega, lepas meluncur cepat dari Gunung Meja yang memandang dua samudera. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu. Aku mendengar zikir mengalir lewat sembilan burung camar yang sayapnya seperti berombak menyanyi. Puisi 32 Adakah Suara Cemara Adakah lautan ladang jagung Puisi 33 Kopi Menyiram Hutan Sebelum matahari dimunculkan Ketika tangan bersilangan Menyiram tiga juta hektar koran Koran basah dilipat empat Keranjang plastik anyaman Jam setengah delapan. Sumber Penyair Terkenal

Puisipuisi karya Taufik Ismail adalah puisi transparan yang cukup mudah untuk dimengerti dan dinikmati. Puisinya bagaikan cerpen yang ringkas. Penggunaan majas dalam puisi-puisi Taufik Ismail lebih sederhana. Di ruang guru, para cikgu chating dengan sahabat maya, Di kampus, mahasiswa berselancar mencari jawaban final persembahan google,

Puisi Guru Terbaik – Guru adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa berkap perannya dalam mendidik dan mengajar anak murid. Guru juga menggantikan peran orang tua saat anak murid sedang berada di sekolah. Para guru ini pun sangat berjasa dalam memberikan bekal ilmu dan pengetahuan untuk menjalani hidup anak murid di masa mendatang. Bahkan guru tanpa kenal lelah saat mendidik anak bangsa hingga menjadi manusia berkualitas dan bermoral. Oleh karenanya, adalah wajar apabila kita semua wajib menghargai para guru. Salah satu bentuk apresiasi kita terhadap guru dapat diwujudkan melalui puisi yang penuh makna. Nah, jika ingin memberikan kado puisi terindah bagi para guru, simak artikel tentang puisi guru ini selengkapnya. Berikut ini adalah contoh puisi guru terbaik yang bisa menjadi inspirasi Anda saat mencari untaian kata sebagai bentuk penghargaan bagi guru. Balada Ksatria Mendung yang menyelimuti mulai menepi Langit biru menaungi cerahnya mentari Selalu ada peluh yang terjatuh bersimpuh dalam riuh yang mengaduh Selalu ada linangan air mata Yang pada akhirnya bermuara di lautan kemenangan Irma Arifah, Guruku Tersayang Guru..Itulah julukanmuKau pembimbingkuKaulah pengajarku Hatimu sungguh muliaKaulah orang tua kedua dalam hidupkuSetiap waktu dan setiap saatEngkau selalu menjadi insan yang berharga Asty Kusumadewi, Sosok Pelita Hidup Mentari bersinar dengan cahaya yang kemilau Suasana indah menyelimuti pagi yang cerah Langkahmu menjadi saksi pengabdian Untuk mendidik dan mengajar Kaulah pelita di ujung pagi Kau sosok yang selalu dirindui Safrida Annafi, Guruku Oh…Guru, Engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa Engkau mendidik dan mengajarkan kami Dari kami tidak bisa apa-apa Hingga kami menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa Nabila, Puisi Guru Guru Samudera Kita ini tuna muda di tengah samudera, Tak tahu apa selain koloni saja, Spesies luar begitu asing, Dunia ramai kejam dan selalu bising, Kau buka dengan pena, Tabir misteri generasi kita, PencilSpirit, Puisi Terima Kasih Guru Guruku saat aku baru mengenal aksara Kaupun ajari aku menghitung angka Saat aku baru mengerti bahasa Kaupun ajari aku tentang logika Guru, kaulah pahlawan dalam kepintaranku Kaulah pembimbing sukses masa depanku Terimakasih guru, atas ilmu yang berguna untukku. beelgrout Pesan untuk Guruku Dalam lirih keluh di bibirku Aku benar tak maksud membencimu, wahai guruku Ego kami masih bangkitkan ragu Kesal dan bosan terus menipu, hati ini larut membisu Di relung terdalam, aku juga pernah sadar Kelabunya di mataku, kau tetaplah pengajar Mengalirkan bakti tanpa ingkar Demi negeri agar tidak buyar Lisa Ardhian Widhia Sari Guruku A+ Mataku terperosok ke depan Ketika kamu memasuki kelas Kamu seorang guru yang lucu Kamu seorang guru yang keren Kamu pintar, imut dan ramah Kamu menolong kami semua Dan jika aku harus menilaimu Bagiku, kamu A+ Chairil Anwar, Tombak keberhasilanku Oleh Amanda Nurdhana D. Pena menari di atas kertasku Menuliskan setiap kata yang kau ucapkan Memberikan secercah cahaya dalam kegelapan Menuntunku menuju jalan kesuksesan Walau letih terlihat di wajahmu tak menghapus semangatmu Kau selalu mendampingiku menuju cita-citaku Mengajariku hal-hal baru Dengan sabar kau membimbingku Walau sikap nakalku terkadang mengganggumu Sungguh besar pengabdianmu Untuk mencerdaskan generasi mudamu Terima kasih kuucapkan untukmu Guru ku ………….. Kau adalah orang tua keduaku Kan kukenang selalu jasamu Sekali lagi kuucapkan terima kasih untukmu Semoga selalu bahagia hidupmu Kebaikan akan selalu menyertaimu. Doa untuk Guruku Hari demi ku lewati merasa hampa Tanpa ilmu dan kasih sayangmu pada siapakah ku wajib bertanya Dari manakah ini asalnya Ku haus ilmu dan mengidamkan belajar Guru,,,,, Terlalu cepat kau menghilang dariku begitu cepat kau dan aku berpisah Akankah kita bersua kembali Guru,,,,, Ingin ku balas jasa-jasamu Namun ku tak dapat melakukannya Ingin rasanya ku membuatmu bangga Tapi apakah ada langkah untuk melakukannya Kini…… hanya rangkaian doa yang dapat ku persembahkan untukmu semoga panjang umur dan berhasil selalu Hingga kita dapat bersua kembali Kiranya Allah menghendaki Guruku yang hebat Oleh Moh Adhuri Ali Syaban “Bagaimana tidak hebat rutinitas pagi harus serba hemat bangun tepat mandi cepat sarapan kalo sempat guruku hebat jam sudah wangi menjemput sang pelangi mengantarkannya meraih mimpi demi ibu pertiwi guruku hebat bertahun tahun menahan diri dari keinginan hati dari nafsu yang menghampiri walau kadang makan hati guruku hebat bagimana tidak hebat tiap hari menopang martabat walau kadang tak bersahabat namun tetap kuat guruku tetap hebat… dalam kekurangan tetap bertahan dalam kesederhanaan tetap diam dalam kesuksesan tetap sopan dalam kemakmuran tetap tenang guruku memang hebat meski bukan konglomerat namun tak melarat meski bukan bangsawan namun tetap menawan guruku hebat mendidik anak negeri sepenuh hati mengajarkan budi pekerti agar menjadi insan yang bernurani tanpa harus menyakiti guruku tetap yang hebat gaji kecil tak sakit hati gaji cukup tak sombong diri meski banyak yang sakit hati karna guru dapat sertifikasi guruku memang hebat karena sertifikasi dituntut kompetensi kalau tak mau diamputasi oleh penguasa negeri yang “katanya” baik hati guruku memang hebat meski mutasi dan gandanya kompetensi mengancam diri tak menjadikannya patah hati mengabdikan diri untuk negeri sambil menunggu panggilan Surgawi.” Pipit kecil Oleh Zuarni, S. Pd. Awal jumpa kita Kami bukan siapa-siapa Hanya pipit kecil dengan paruh menganga dan sayap setengah terbuka Kami hanya berputar… berputar… Dan hinggap di pundak ilmu guru-guru kami Awal jumpa kita Kami bukan apa-apa Hanya sobekan-sobekan kertas tak bermakna Menunggu tangan-tangan kokoh dan jemari lentik guru kami Merangkainya menjadi buku yang patut diperhitungkan Guruku… lihatlah pipitmu Kami telah seperkasa garuda, selincah merpati Dengan ilmu dan petuahmu Picing mata nanar telah sejelita mentari siang hari Langkah seok… telah mantap menapaki jalan tajam beronak Kini pipitmu… Telah siap terbang… terbang memetik cita-cita kehidupan Dia meninggalkan Secuil sejarah hidup kami di sini. Puisi Guru Guruku pelita hatiku Guru,… Dalam bingkai senyummu tertumpu sebuah harapan besar bagi kami, dalam candamu terurai mutiara-mutiara indah. Engkau taburkan pengorbanan tuk menata masa depan kami, Guru….. sungguh tak terjangkau tinggi kesabaranmu, sungguh tak tergambar indah akhlakmu dan sungguh tak terbalas semua jasamu hanya engkaulah pahlawan haqiqi dalam hidup. Guru…. Tabahkanlah hatimu dalam menjalani cobaan, mengajarkan arti sebuah kehidupan, tuk menyulam pekerti hati yang rohani, kaulah pelita untuk hati kami yang gelap namamu akan selalu kekal di sanubari kami. Daka al Banjizy, Baca juga 3 Ajaran Guru yang Berguna Untuk Keuanganmu di Masa Depan Puisi Guru Sebatang Kapur Deretan deretan bangku tanpa kedua kaki tetap berdiri meski tidak mampu berdiri tegak Suara lantang terus kau keluarkan sampai mengusir tikus tikus kemalasan diotak kami Tanpa mengenal lelah kau terus mendidik kami Meski keringat bercucuran dan gaji tak seberapa dibandingkan gaji para aparatur aparatur negara yang tidak adil Guru Nama yang akan selalu dikenang sepanjang masa Dengan kelincahan menarikan sebatang kapur diatas papan tulis yang mulai mengantuk Dan terus mendidik hingga kami mendapatkan arti pentingnya kehidupan Iroh Rohmawati, mata pena Lilin Kegelapan Titik air menitik Berbaris jarum jam berdetik Tak henti dalam putaran waktu Menembus masuk roda itu Menjadi pilar generasi penerus Bermuara menjelma sebagai arus Berbaris di tengah tangisan pertiwi Tak buat henti langkahkan kaki Ku akan jadi lilin di tengah kegelapan Wahai sang guruku Tuntunlah aku menjadi aku Jasamu tak tampak mata Berwujud dalam hati Titik air menitik Ilmu mu kan ku petik Bukan buat negara munafik Dila Basyarahil Itulah puisi guru terbaik sarat makna yang akan mampu menyentuh hati para guru bila membacanya. Jadi, yang mana puisi yang akan diberikan pada guru tersayang di sekolah? Kembangkan Dana Sekaligus Berikan Kontribusi Untuk Ekonomi Nasional dengan Melakukan Pendanaan Untuk UKM Bersama Akseleran! Bagi kamu yang ingin membantu mengembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia, P2P Lending dari Akseleran adalah tempatnya. Akseleran menawarkan kesempatan pengembangan dana yang optimal dengan bunga rata-rata 10,5% per tahun dan menggunakan proteksi asuransi 99% dari pokok pinjaman. Tentunya, semua itu dapat kamu mulai hanya dengan Rp100 ribu saja. Yuk! Gunakan kode promo BLOG100 saat mendaftar untuk memulai pengembangan dana awalmu bersama Akseleran. Untuk pertanyaan lebih lanjut dapat menghubungi Customer Service Akseleran di 021 5091-6006 atau email ke [email protected]
DENGANPUISI AKU(Taufiq ismail) Dengan puisi aku bernyanyi. Sampai senja umurku nanti. Dengan puisi aku bercinta. Berbaur cakrawala. Dengan puisi aku mengenang. Keabadian Yang Akan Datang. Dengan puisi aku menangis. Jarum waktu bila kejam mengiris.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Taufiq Ismail merupakan seorang tokoh sasatrawan Indonesia Angkatan 66, dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Karyanya yang ada di Perpustakaan Nasional antara lain "Tirani dan Benteng kumpulan puisi terbitan tahun 1993. Malu aku jadi orang Indonesia serratus puisi Taufiq Ismail, terbitan tahun bagaikan mimpi, ketila di acara peluncuran buku Nyalanesia 26/7 saya bertemu dengan sastrawan hebat bapak Taufiq Ismail. Pukul wib, saya tiba di lantai 2 Ruang Teater Perpusnas tempat berlangsungnya acara peluncurun buku yang diadakam oleh Nyalanesia, ya tiba di rumah sendiri gumanku dalam hati, kali ini peran saya sebagai tamu bukan tuan rumah. Tamu yang dimintakan untuk memberikan sambutan dan membuka acara. Memasuki pintu teater sambutan ramah dan suara lembut dari seorang wanita, bernama Yulianti ketua panitia acara "Bapak Suharyanto ya", saya sambil bergurau menjawab "bukan itu sambil menunjuk ke Mas Adhit, rekan kerja saya yang menemani saya hari ini, terlihat raut wajah kebinguan dari Yuliati,.dengan spontannya Mas Adhit menjawab bukan saya ini ruang teater telah hadir peserta sebanyak 150 orang para siswa, guru, kepala sekolah, perwakilan dari Dinas perpustakaan kota bogor, kabupaten bogor, kabupaten tanggerang, dan juga para penggiat literasi dari Jabodetabek yang berpakaian batik dan ada juga yang mengenakan pakain duduk di deretan paling depan, seoarang pria muda dengan wajah yang ramah dan berlogat jawa menyapa saya dengan ramah dan kami sedikit berbincang-bincang, anak muda ini bernama Lenang Manggala sebagai founder dimulai dengan penampilan tari-tarian yang dibawakan oleh siswa-siswa SMP dan SMA, disela-sela pertunjukkam hadir dan masuk seorang pria berpeci hitam, sosok pria yang penuh kewibawaan dan kebapaan dengan sorotan matanya yang penuh keteduhan, ya pria itu adalah Taufik Ismail, saya sudah tidak asing lagi dengan beliau, saya sudah mengenal beliau melalui karya-karya sastranya sejak di bangku sekolah SMP dan saya kebetulan waktu itu juga mempunyai taman bacaan yang diantaranya buku-buku sastra karya beliau, juga mengenal beliau melalui lirik-lirik lagu yang dibawakan oleh bimbo dan chrisye. Alhamdulillah, saat itu saya dapat berjumpa secara langsung dan bahkan duduk berdampingan dengan beliau. Selama acara berlangsung tak banyak saya berbincang dengan beliau karena suara di ruang teater yang cukup keras dan juga kami sedang fokus menyimak rangkaian acara di atas demi satu rangkaian acara dilaksanakan, tibalah suara pembawa acara yang menyampaikan agar bapak Taufiq Ismail maju ke panggung untuk memberikan sambutannya sekaligus membavakan puisinya,.merinding jiwa ini ketika puisi-puisi dibacakan begitu mengalir dan penuh pemaknaan oleh seorang penyair yang mempunyai nama besar bukan saja di Indonesia di dunia internasional. taufik- Tiga puisi beliau bawakan Buku Itu Cahaya, Membaca Buku dan Mengarang Kakak Adik Kandung tak terpisahkan, dan Kita merindukan anak-anak Indonesia, terbesit keinginan di hati saya, sepertinya ini kesempatan yang langka saya bisa berjumpa dengan beliau, alangkah bangganya saya kalau bisa membacakan puisi dihadapan langsung di depan beliau dan juga para peserta, dengan memberanikan diri saya sampaikan ke mas Lanang, saya mau baca puisinya dan dijawab dengan penuh semangat, silakan pak, boleh. 1 2 Lihat Seni Selengkapnya
MembacaPuisi bersama Taufik Ismail. Taufiq Ismail merupakan seorang tokoh sasatrawan Indonesia Angkatan 66, dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Karyanya yang ada di Perpustakaan Nasional antara lain "Tirani dan Benteng : kumpulan puisi terbitan tahun 1993.
Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail - Here's Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail collected from all over the world, in one place. The data about Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail turns out to be....puisi pendidikan karya taufik ismail, riset, puisi, pendidikan, karya, taufik, ismail LIST OF CONTENT Opening Something Relevant Conclusion Recommended Posts of Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail Conclusion From Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail - A collection of text Puisi Pendidikan Karya Taufik Ismail from the internet giant network on planet earth, can be seen here. We hope you find what you are looking for. Hopefully can help. Thanks. See the Next Post
Temapuisi ini adalah tentang Alam. Puisi Membaca Tanda-tanda memiliki makna bahwa Taufik Ismail selaku penciptanya mengajak pembaca untuk dapat membaca gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar kita. Pembaca diajak untuk peka terhadap perubahan alam yang semakin lama semakin memprihatinkan keadannya.
Sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail. Foto Instagram/ Jakarta - Taufiq Ismail merupakan seorang sastrawan senior asal Indonesia yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat dan dibesarkan di Pekalongan dalam keluarga guru dan kecil, Taufiq memang sudah suka membaca dan bercita-cita menjadi sastrawan ketika duduk di bangku SMA. Sajak pertamanya berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Ismail sudah banyak mendapat penghargaan dari karya sastranya, salah satu karya Taufiq yang paling terkenal ialah puisi berjudul Malu Aku Jadi Orang kini, pria kelahiran 1935 ini telah menghasilkan puluhan puisi, sajak, dan beberapa karya terjemahan. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Arab, Inggris, Jerman, Perancis, dan peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia, Taufiq selalu tampil membacakan puisinya. Tak hanya mahir dibidang sastra, ia pun pandai menciptakan lagu. Pada tahun 1974 dirinya menjalin kerjasama dibidang musik bersama Bimbo, Chrisye, Ucok Harahap, dan Ian Tagar rangkumkan kumpulan puisi penuh makna karya Taufiq IsmailSastrawan Indonesia, Taufiq Ismail. Foto WikipediaMalam SabtuBerjagalah terusSegala kemungkinan bisa terjadiMalam iniMaukah kita dikutuk anak-cucuMenjelang akhir abad iniKarena kita kini berserah diri?Tidak. Tidak bisaTujuh korban telah jatuh. DibunuhAda pula mayat adik-adik kita yang dicuriDipaksa untuk tidak dimakamkan semestinyaApakah kita hanya akan bernafas panjang dan seperti biasa sabar mengurut dada?Tidak. Tidak bisaDengarkan. Dengarkanlah di luar ituSuara doa berjuta-jutaRakyat yang resah dan menantiMereka telah menanti lama sekaliMenderita dalam nyeriMereka sedang berdoa mala miniDengar. Dengarlah hati-hatiDengan Puisi, AkuDengan puisi aku bernyanyiSampai senja umurku nantiDengan puisi aku berceritaBerbatas cakrawalaDengan puisi aku mengenangKeabadian yang akan datangDengan puisi aku menangisJarum waktu bila kejam mengirisDengan puisi aku mengutukNafas zaman yang busukDengan puisi aku berdoaPerkenankanlah kiranyaKita Adalah Pemilik Sah Republik IniTidak ada pilihan lainKita harusBerjalan terusKarena berhenti atau mundurBerarti hancurApakah akan kita jual keyakinan kitaDalam pengabdian tanpa hargaAkan maukan kita duduk satu mejaDengan para pembunuh tahun yang laluDalam setiap kalmiat yang berakhiran“Duli Tuanku?”Tidak ada pilihan lainKita harusBerjalan terusKita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalanMengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuhKita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsaraDipukul banjir, gunung api, kutuk dan hamaDan bertanya-tanya inikah yang namanya merdekaKita yang tidak punya kepentingan dengan seribu sloganDan seribu pengeras suara yang hampa suaraTidak ada lagi pilihan lainKita harusBerjalan terusBentengSesudah siang panas yang meletihkanSehabis tembak-tembakan yang tak bisa kita balasDan kita kembali ke kampus ini berlindungBersandar dan berbaring, ada yang merenungDi lantai bungkus nasi bertebaranDari para dermawan tidak dikenalKulit duku dan pecahan kulit rambutanLewatlah di samping Kontingen BandungAda yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-manaSemuanya kumal, semuanya tak bicaraTapi kita tidak akan terpatahkanOleh seribu senjata dan seribu tiranTak sempat lagi kita pikirkanKeperluan-keperluan kecil seharianStudi, kamar-tumpangan dan percintaanKita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malamKita mesti siap saban waktu, siap saban jamDari Catatan Seorang DemonstranInilah peperanganTanpa jenderal, tanpa senapanPada hari-hari yang mendungBahkan tanpa harapanDi sinilah keberanian diujiKebenaran dicoba dihancurkanPada hari-hari berkabungDi depan menghadang ribuan lawanTakut 66, Takut 98Mahasiswa takut pada dosenDosen takut pada dekanDekan takut pada rektorRektor takut pada menteriMenteri takut pada presidenPresiden takut pada mahasiswaTakut "66, takut "98. []
Jikapuisi pendidikan sebelumnya mengisahkan tentang kontribusi seorang guru, namun puisi ini justru menyiratkan bahwa kita semua adalah guru. Puisi pendidikan demokrasi adanya cocok disematkan kepada puisi karya Taufik Ismail di atas. Beliau dengan jelas membandingkan suasana pemilihan umum yang terjadi di awal kemerdekaan.
Ilustrasi kumpulan puisi karya Taufik Ismail, foto ThoughtCatalog / Pixabay4 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Penuh MaknaIlustrasi kumpulan puisi karya Taufik Ismail, Gambar oleh Michal Jarmoluk dari PixabayAnakku bertanya padakuMengapa Rasul itu mulia?Rasul mulia, hai anakkuKarena dia sederhanaMengapa Rasul utusan Tuhan?Karena dia tak pernah gentarBerkata benar, hai anakkuDialah kejujuranTutur kata amat lemah lembutnyaHidupnya yang penuh cintaDia sering lapar dan berpakaian tuaDialah cahaya kitaAlmamater, janganlah bersedihBila arakan ini bergerak perlahanMenuju pemakamanSiang iniAnakmu yang beraniTelah tersungkur ke bumiKetika melawan adalah yang harus kaulakukanIalah menyampaikan kebenaranJika adalah yang tidak bisa dijual-belikanIalah yang bernama keyakinanJika adalah yang harus kau tumbangkanIalah segala pohon-pohon kezalimanJika adalah orang yang harus kauagungkanIalah hanya Rasul TuhanJika adalah kesempatan memilih matiIalah syahid di jalan Illahi j0f0PJ.
  • 8jdmse12px.pages.dev/184
  • 8jdmse12px.pages.dev/104
  • 8jdmse12px.pages.dev/360
  • 8jdmse12px.pages.dev/181
  • 8jdmse12px.pages.dev/287
  • 8jdmse12px.pages.dev/192
  • 8jdmse12px.pages.dev/376
  • 8jdmse12px.pages.dev/255
  • 8jdmse12px.pages.dev/75
  • puisi guru karya taufik ismail